Selasa, 09 Februari 2021

CERPEN- Menjaga Hubungan Baik

 

Apa Manusia Boleh di Dewakan?

 

Menurut bapak Aristoteles, seorang pemikir hebat, memberikan definisi manusia sebagai “Zoon politicon”, atau sebagai makhluk sosial. Hal ini menjadikan manusia saling tergantung, satu dengan lainnya. Jadi manusia tidak bisa hidup sendiri, harus hidup dengan orang lain." Kata pak Dion guru IPS di sekolah ku.

 

Jujur aku tidak mengerti, bukannya manusia memang saling berinteraksi sehari-harinya? terus kenapa harus dijadikan teori lagi? Lalu kenapa manusia tidak bisa hidup sendiri? Bukanya banyak manusia yang hidup sendiri, misalnya saja Kak Dani yang hidup di kontrakan sebelah, toh dia sendirian di kontrakan dan hidup juga. Tiba-tiba bel pulang terdengar, lantas semua pikiran itu lenyap, perut keroncong ku menang melawan akal ku. Aku segera pulang, masakan mbak Dini yang menanti dirumah, lebih menarik akal ku.

 

 

“Mbak, aku pulang” teriak ku di ambang pintu.

 

Tak lama, seorang wanita di pertengahan umur 30-an muncul menghampiri ku. Tubuhnya kurus, dengan rambut hitam panjang yang disanggul seadanya, kulit putihnya dibalut daster cokelat lusuh pemberian mamah dua tahun lalu dari Surabaya. Aku tidak berhubungan darah dengannya, tapi sepanjang aku mengingat, dia selalu memiliki tempat di ingatanku.

 

“Aden, ganti baju yah. Sudah mbak siapkan di kamar, setelah itu langsung makan” katanya sembari mengambil tas ku.

 

“Mama, pergi lagi mbak?” tanyaku.

 

“Iya den. Ada arisan di rumah bu Dewi,” jawabnya.

 

Aku langsung naik ke lantai dua, masuk ke kamarku mengganti seragam putih merah yang kukenakan dengan sepasang baju yang sudah disiapkan mbak Dini. Lalu berlari ke ruang makan, di meja makan sudah tersaji nasi putih, perkedel jagung, tumis kangkung telur puyuh, dan ayam goreng. Semuannya makanan kesukaan ku. Mbak Dini memang paling menegerti mengenai hal ini.

 

Setelah menuntaskan makanku, aku langsung menuju ruang keluarga menyalakan tv dan menonton kartun kesukaan ku. Rumah yang ku tempati ini besar, dua lantai, ayah pernah bilang luasnya 900 meter persegi sangat besar untuk empat orang yang hidup di dalamnya. Sangking luasnya, rumah ini lebih sering terasa seperti sebuah bangunan tak bertuan ketimbang rumah milik seorang pengusaha kayu. Iya, di rumah ini memang hanya ada aku, mbak Dini, mama dan ayah. Mama seperti istri seorang pengusaha yang ada di film-film selalu saja sibuk dengan teman-temannya. Entah urusan bisnis atau hanya sekedar arisan. Ayah tidak kalah sibuk disbanding ibu. Kami bisa makan malam bersama adalah sebuah bentuk kesyukuran. Bagaimana pun aku tetap bersyukur dengan konsisi seperti ini. Aku percaya apa yang mereka lakukan demi masa depan keluarga kami. Aku tidak mungkin bisa hidup berkecukupan, jika mereka tidak bekerja keras. Mbak Dini tidak mungkin bisa memasak semua makanan kesuakaan ku juga Ibu tak memberikan uang kepadanya.

 

Tiba-tiba terdengar suara pintu depan terbuka, “Dini...Dini…” kudengar suara teriakan yang sangat familiar, itu suara mama.

 

Kuperhatikan dari lantai dua, mbak Dini datang entah dari mana setengah berlari, dengan pakaian yang sama, terlihat mama dan mbak dini terlibat sebuah percakapan, tak bisa ku dengar jelas, akan tetapi raut wajah mama dan mbak Dini terlihat sangat serius. Saat kulihat mbak Dini menggeleng, tiba-tiba mama menaikkan nada suaranya.

 

“Dasar tidak tau di untung, ingat siapa yang memungut mu dari tempat kumuh ? Sudah saya kasih makan, tempat tinggal, saya gaji pula. Giliran saya suruh ini kau menolak! Tidak tahu terima kasih!"

 

“Tapi bu, itukan barang haram. Saya takut kenapa-kenapa bu,” ucap mbak Dini lirih.

 

“Alah, kayak kamu nggak pernah pegang aja. Kan tempat kerja kamu dulu banyak orang kayak gitunya,” potong mama.

 

“Iya bu, tapi itu dulu. Saya mau berubah bu,” jawab mbak Dini.

 

Suasana hening sesaat, kulihat mama memaksa mbak Dini mengambil bungkusan ditangannya. Meski terbungkus koran, dapat kulihat serbuk putih yang terbungkus dalam bungkusan plastik. Tak besar, hanya sebesar botol air mineral. Tapi kenapa gara-gara barang itu, mama meneriaki mbak Dini?

 

“Bu, saya tidak mau bu. Saya sudah tidak mau sentuh beginian,” suara mbak Dini semakin lirih.

 

“Berhenti sok suci!” suara mama kembali meninggi. Kali ini  bersamaan dengan tamparan ke pipi kiri mbak Dini.

 

Kulihat air mata mbak Dini mengalir. Di saat yang sama mbak Dini berlari, mama menyusul dibelakangnya. Kembali suasana menghening. Aku jadi teringat kisah mbak Dini saat dia menemaniku, kala papa dan mama pergi keluar kota. Katanya tempat tinggal mbak Dini dulu, tempatnya orang jahat berkumpul. Hidup mbak Dini juga tidak terlalu baik, dia sempat mencoba bunuh diri. Tapi katanya papa datang dan memberikan kesempatan hidup untuk mbak Dini.

 

Keesokan paginya mbak Dini tidak muncul. Tidak ada suara lembutnya yang membangunkanku, tidak ada baju siap pakai yang dia siapkan, tidak ada masakan kesukaanku yang dia buat. Saat ku Tanya papa, katanya mbak Dini pulang kampung. Saat kutanya kembali, kapan dia pulang. Papa hanya diam. Sebelum berangkat ke sekolah, kudengar ayah menyuruh mas Sapto supir keluarga, untuk mencari pembantu baru. Dan mulai hari itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Mbak Dini pergi membawa pertanyaan besarku. Karena sebenarnya ini bukan kali pertama mama marah ke mbak Dini. Pernah suatu ketika mbak Dini tidak sengaja memecahkan porselen kesayangan mama. Saat itu mama marah besar dan mencaci maki mbak Dini, ayah pun tampak marah kepadanya. Tetapi mbak Dini tetap menjalankan tugasnya seperti biasanya. Tidak ada kebencian di wajahnya. Menurutnya hal wajar jika mama dan ayah marah kepadanya. Itu memang salahnya karena tidak berhati-hati. Namun kejadian mala mini, entah apa yang berbeda dari kejadian sebelumnya. Satu hal pasti teguh hatinya kini sepertinya tak dapat dirubuhkan oleh apa pun, bahkan rasa terima kasih yang membuatnya bertahan selama ini.

 

Makassar, 30 September 2017

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar