Apa
Manusia Boleh di Dewakan?
Menurut bapak Aristoteles, seorang
pemikir hebat, memberikan definisi manusia sebagai “Zoon politicon”, atau
sebagai makhluk sosial. Hal ini menjadikan manusia saling tergantung, satu
dengan lainnya. Jadi manusia tidak bisa hidup sendiri, harus hidup dengan orang
lain." Kata pak Dion guru IPS di sekolah ku.
Jujur aku tidak mengerti, bukannya
manusia memang saling berinteraksi sehari-harinya? terus kenapa harus dijadikan
teori lagi? Lalu kenapa manusia tidak bisa hidup sendiri? Bukanya banyak
manusia yang hidup sendiri, misalnya saja Kak Dani yang hidup di kontrakan
sebelah, toh dia sendirian di kontrakan dan hidup juga. Tiba-tiba bel pulang
terdengar, lantas semua pikiran itu lenyap, perut keroncong ku menang melawan
akal ku. Aku segera pulang, masakan mbak Dini yang menanti dirumah, lebih
menarik akal ku.
“Mbak, aku pulang” teriak ku di
ambang pintu.
Tak lama, seorang wanita di
pertengahan umur 30-an muncul menghampiri ku. Tubuhnya kurus, dengan rambut
hitam panjang yang disanggul seadanya, kulit putihnya dibalut daster cokelat
lusuh pemberian mamah dua tahun lalu dari Surabaya. Aku tidak berhubungan darah
dengannya, tapi sepanjang aku mengingat, dia selalu memiliki tempat di
ingatanku.
“Aden, ganti baju yah. Sudah mbak siapkan
di kamar, setelah itu langsung makan” katanya sembari mengambil tas ku.
“Mama, pergi lagi mbak?” tanyaku.
“Iya den. Ada arisan di rumah bu
Dewi,” jawabnya.
Aku langsung naik ke lantai dua,
masuk ke kamarku mengganti seragam putih merah yang kukenakan dengan sepasang
baju yang sudah disiapkan mbak Dini. Lalu berlari ke ruang makan, di meja makan
sudah tersaji nasi putih, perkedel jagung, tumis kangkung telur puyuh, dan ayam
goreng. Semuannya makanan kesukaan ku. Mbak Dini memang paling menegerti mengenai
hal ini.
Setelah menuntaskan makanku, aku
langsung menuju ruang keluarga menyalakan tv dan menonton kartun kesukaan ku.
Rumah yang ku tempati ini besar, dua lantai, ayah pernah bilang luasnya 900
meter persegi sangat besar untuk empat orang yang hidup di dalamnya. Sangking
luasnya, rumah ini lebih sering terasa seperti sebuah bangunan tak bertuan
ketimbang rumah milik seorang pengusaha kayu. Iya, di rumah ini memang hanya
ada aku, mbak Dini, mama dan ayah. Mama seperti istri seorang pengusaha yang ada
di film-film selalu saja sibuk dengan teman-temannya. Entah urusan bisnis atau
hanya sekedar arisan. Ayah tidak kalah sibuk disbanding ibu. Kami bisa makan
malam bersama adalah sebuah bentuk kesyukuran. Bagaimana pun aku tetap
bersyukur dengan konsisi seperti ini. Aku percaya apa yang mereka lakukan demi
masa depan keluarga kami. Aku tidak mungkin bisa hidup berkecukupan, jika
mereka tidak bekerja keras. Mbak Dini tidak mungkin bisa memasak semua makanan
kesuakaan ku juga Ibu tak memberikan uang kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu
depan terbuka, “Dini...Dini…” kudengar suara teriakan yang sangat familiar, itu
suara mama.
Kuperhatikan dari lantai dua, mbak
Dini datang entah dari mana setengah berlari, dengan pakaian yang sama,
terlihat mama dan mbak dini terlibat sebuah percakapan, tak bisa ku dengar
jelas, akan tetapi raut wajah mama dan mbak Dini terlihat sangat serius. Saat
kulihat mbak Dini menggeleng, tiba-tiba mama menaikkan nada suaranya.
“Dasar tidak tau di untung, ingat
siapa yang memungut mu dari tempat kumuh ? Sudah saya kasih makan, tempat
tinggal, saya gaji pula. Giliran saya suruh ini kau menolak! Tidak tahu terima
kasih!"
“Tapi bu, itukan barang haram. Saya
takut kenapa-kenapa bu,” ucap mbak Dini lirih.
“Alah, kayak kamu nggak pernah
pegang aja. Kan tempat kerja kamu dulu banyak orang kayak gitunya,” potong
mama.
“Iya bu, tapi itu dulu. Saya mau
berubah bu,” jawab mbak Dini.
Suasana hening sesaat, kulihat mama
memaksa mbak Dini mengambil bungkusan ditangannya. Meski terbungkus koran,
dapat kulihat serbuk putih yang terbungkus dalam bungkusan plastik. Tak besar,
hanya sebesar botol air mineral. Tapi kenapa gara-gara barang itu, mama
meneriaki mbak Dini?
“Bu, saya tidak mau bu. Saya sudah
tidak mau sentuh beginian,” suara mbak Dini semakin lirih.
“Berhenti sok suci!” suara mama
kembali meninggi. Kali ini bersamaan dengan tamparan ke pipi kiri mbak
Dini.
Kulihat air mata mbak Dini mengalir.
Di saat yang sama mbak Dini berlari, mama menyusul dibelakangnya. Kembali
suasana menghening. Aku jadi teringat kisah mbak Dini saat dia menemaniku, kala
papa dan mama pergi keluar kota. Katanya tempat tinggal mbak Dini dulu,
tempatnya orang jahat berkumpul. Hidup mbak Dini juga tidak terlalu baik, dia
sempat mencoba bunuh diri. Tapi katanya papa datang dan memberikan kesempatan
hidup untuk mbak Dini.
Keesokan paginya mbak Dini tidak
muncul. Tidak ada suara lembutnya yang membangunkanku, tidak ada baju siap
pakai yang dia siapkan, tidak ada masakan kesukaanku yang dia buat. Saat ku
Tanya papa, katanya mbak Dini pulang kampung. Saat kutanya kembali, kapan dia
pulang. Papa hanya diam. Sebelum berangkat ke sekolah, kudengar ayah menyuruh
mas Sapto supir keluarga, untuk mencari pembantu baru. Dan mulai hari itu, aku
tidak pernah lagi mendengar kabarnya. Mbak Dini pergi membawa pertanyaan
besarku. Karena sebenarnya ini bukan kali pertama mama marah ke mbak Dini.
Pernah suatu ketika mbak Dini tidak sengaja memecahkan porselen kesayangan
mama. Saat itu mama marah besar dan mencaci maki mbak Dini, ayah pun tampak
marah kepadanya. Tetapi mbak Dini tetap menjalankan tugasnya seperti biasanya.
Tidak ada kebencian di wajahnya. Menurutnya hal wajar jika mama dan ayah marah
kepadanya. Itu memang salahnya karena tidak berhati-hati. Namun kejadian mala
mini, entah apa yang berbeda dari kejadian sebelumnya. Satu hal pasti teguh
hatinya kini sepertinya tak dapat dirubuhkan oleh apa pun, bahkan rasa terima
kasih yang membuatnya bertahan selama ini.
Makassar,
30 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar