Jangan Kampungan
Daun-daun telah
menguning. Sore kali ini begitu banyak daun yang jatuh berguguran. Terasa tenang
dengan cuaca yang begitu bersahabat. Ohh iya tulisan kali bukan tulisan
mengenai apapun yang berhubungan dengan daun, cuaca dan sebagainya. Hanya saja
pada tulisan kali ini aku bingung membuka dengan cara seperti apa. Maka,
jadilah pembuka yang seperti ini.
Perkenalkan namaku
Anggita, sering di panggil Gigi. Saat ini aku tengah disibukkan dengan
tulisan-tulisan ilmiah yang orang-orang sering sebut skripsi. Tulisan yang
terdengar begitu horor bagi sebagian orang tapi menurtku santai saja, cukup dijalani. Toh
dunia tak akan kiamat hanya karena skripsi. Ohh iya hari ini aku akan bertemu
dengan dosen pembimbing baru. Pembimbing ku sebelumnya tiba-tiba akan
melanjutkan studi di luar kota. Alhasil mau tidak mau, rela tidak rela aku
harus di oper ke orang lain. Kira bola kali ya.
Entah hal buruk apa
yang telah ku lakukan. Pembimbing baru ku tipe orang yang sangat menyebalkan.
Aku tidak tahu dia manusia jenis apa. Pagi tadi, beliau ingin bertemu pukul
07.30 (beliau yang mentukan jadwal tidak boleh di tawar, tidak ada nego) jadi
mau tidak mau saya harus mengiyakan. Seperti biasa karena saya orang yang tidak
bisa untuk bangun pagi, saya terlambat datang sekitar 10 menit. Ia telah
memasang wajah yang membuat ku ingin
tertawa dibanding merasa takut. Wajahnya tampak cemberut mirip ikan Salmon. Kemudian
aku memberanikan diri untuk menyampaikan alasan mengapa terlambat. Lalu ia berkata,
“ Memangnya kamu tinggal
dimana?, Kamu bangun pukul berapa? Apa ada yang harus kamu urus di rumah? Saya
di rumah mengurus anak. Memasak, mengantar anak ke sekolah, tapi bisa datang
lebih awal dari kamu.”
Mendengar hal tersebut,
saya tidak membuat alasan lagi, dan langsung meminta maaf. Setelah itu saya
memberanikan diri mengajukan skripsi yang telah saya buat. Teryata tidak hanya
ocehannya yang begitu cepat. Gerakan tangannya juga tak kalah cepat. Hampir di
setiap halaman skripsi yang saya ajukan di coret olehnya. Oh manusia jenis apa
yang ku hadapi saat ini. Mengapa tiba-tiba aku ingin kembali ke rumah dan melanjutkan tidur saja. Akhirnya ia selesai
mengoceh dan mencoret semua halaman skripsi yang saya berikan. Sebelum
meninggalkan ruangannya, ia kemudian berkata,
“ Lebih baik kamu tidak
usah menulis skripsi dulu. Baca Jurnal yang banyak. Jangan asal menulis. Jangan
asal mengutip. Cari bahan kutipan yang elegan. Jangan kampungan! Saya tunggu
hasil revisinya minggu depan. Kita ketemu lagi pukul 07.30”.
Sontak hal tersebut
membuat saya ingin berkta kasar, tetapi bagaimana pun makhluk yang ada di depan ku saat ini adalah
makhluk yang akan menentukan bagaimana nasib ku kedepannya. Jadi setelah mendengar
apa yang ia sampaikan aku hanya tersenyum dan pamit pergi.
Bahagia, lega dan merasa menemukan kembali dunia yang ku jalani selama ini. Entah
mengapa beberapa menit yang lalu waktu terasa begitu lama. Aku hanya 20 menit
berada di ruangan tersebut, namun seperti telah berjam-jam.
Setelah dari ruangan
tersebut aku kemudian memutuskan untuk duduk di taman, tak terasa sampai sore
ini aku masih berada di tempat ini. Ada satu hal yang aku renungkan.
Menurutku, semua memiliki kemampuan dan
kompetensi yang sama. Hanya saja, biasanya lingkungan di mana ia berada tidak
mendukung berkembangnya hal tersebut. Ohh iya, aku kuliah di Makassar. Dan saya sering mendengar
bahwa kita mahasiswa yanga ada di Makassar selalu kalah jika di bandingkan
dengan mahasiswa yang ada di kota Jawa. Mereka lebih berwawasan luas (katanya).
Nah apa benar. Namun jika melihat beberapa fakta yang ada hal tersebut memang
tidak bisa di pungkiri. Beberpa perlombaan selalu di menangkan mereka yang dari
pulau Jawa.
Memang jika
diperhatiakan lingkungan di sini dan sana memang jauh berbeda. Contoh
sederhananya dunia Kampus. Sering kali aku mendengar cerita teman-teman yang
berkuliah di Jawa, katanya mereka memiliki dosen-dosen yang keren. Wawasan
mereka luar. Belum lagi kampus mereka memili perpustakaan yang terdapat banyak
buku penunjang di dalamnya. Suasana yang enak untuk belajar dan beberpa
fasiltas pendukung yang ada. Tentu saja hal tersebut berbeda jauh dengan apa
yang aku dapatkan di sini. Bukan coba mengkritik, atau bagaimana tapi hal
tersebut memang yang aku temukan. Untuk menulis skripsi saat ini saja aku sangat
kesulitan menemukan refrensi. Mulai dari perputakaan fakultas, universitas,
sampai di perpustakaan wilayah, buku yang disediakan sanagt minim. Belum lagi berbicara mengenai sistem dan
pelayanan. Menurutku keduanya sudah sangat ketinggalan jika di bandingkan dengan
yang ada di pulau Jawa. Tidak heran banyak orang yang lebih memilih melanjutkan
studi ke sana.
Nah jika hal tersebut
terus terjadi dan di biarkan siapa yang harus di salahkan? Siapa yang
kampungan? Mari sama-sama merenung dan mencari jawaban, bisa saja setelah
menemukan jawaban tiba-tiba semua akan berubah. Semoga saja. (dwh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar