Perihal Merelakan
Mungkin ini prihal merelakan. Merelakan apa yang
orang lain lakukan, tak ku lakukan.
Prihal orang lain menerima, tak ku terima. Prihal orang lain memberikan, tak ku
berikan. Dan prihal-prihal yang lain yang harus kau relakan meski tak pernah ku
dapatkan.
***
Perkenalkan
aku Nabil, lebih tepatnya Nabila Safitri Ainun. Gadis yang genap berusia 21
tahun di awal Desember besok. Aku sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Bahasa
Indonesia di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di kota Daeng,
Makassar. Saat ini aku tengah menginjak semester lima dan sebentar lagi akan
memasuki semeseter enam. Waktu berjalan begitu cepat. Baru saja kemarin aku
mengenakan seragam putih abu-abu dan sekarang menjalani kehidupan sebagai
seorang mahasiswi. Bagiku waktu adalah hal gaib, yang entah tak ada seorang pun yang bisa
menebak kecuali esok.
Seperti
rutinitas mahasiswi pada umumnya, hari ini aku harus ke kampus pukul 07.30
untuk mengikuti perkuliahan dan seperti biasanya, lagi dan lagi aku datang
terlambat. Bukan hal baru lagi menurutku dan orang sekitar. Bukan Nabil namanya
jika tidak terlambat masuk kelas. Untung saja dosen pagi ini tidak
mempermasalahkan keterlambatanku. Sepertinya hal baik tengah terjadi kepadanya
dan semoga itu juga menimpa dosen lain setiap harinya. Keterlambatan (hanya)
untuk kuliah telah menjadi penyakit tersendiri padaku. Jangan salah sangka,
bukan karena tak menghargai waktu. Tetapi tidak datang terlambat untuk kuliah
sebuah ketidakmungkinan buatku. Ini telah menjadi penyakit utama pada diriku,
yang entah dimana dengan cara apa dapat disembuhkan. Contoh saja, sewaktu SMA
di hari pertama Ujian Nasional (UN) aku terlambat masuk kelas. Pengawas sudah
berada dalam ruangan dan lebih sialnya lagi aku bertemu dengan kepala sekolah
yang sedang berkeliling megawasi jalannya UN. Seketika aku terkejut dan sontak
memasang wajah yang tersenyum polos kepada kepala sekolah dan jajarannya.
Beruntung pagi itu kepala sekolah tidak tampak marah, hanya sedikit bercanda
dan berkata “Hmm terlambat lagi nak,” kebiasaan buruk ini memang sering terjadi
apalagi di hari Senin. Setiap hari senin aku selalu datang terlambat upacara.
Barisan khusus merupakan barisan favorit. Ruang BP merupakan ruangan yang wajib
ku kunjungi setiap hari Senin sebelum masuk kelas. Ahh kenapa membahas masa SMA
ku. Bukan bagian itu yang ingin ku ceritakan pada tulisan kali ini.
Kehidupan
ku sebagai seorang mahasiswa tak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya.
Kuliah, organisasi, dan kehidupan remaja pada umumnya. Hanya saja kali ini aku
tidak ingin melewatkan segala sesuatu. Aku mencoba segala hal yang bisa ku coba
di dunia perkuliahan. Wajar saja, ketika aku SMA hidup bersama orang tua, ruang
gerak ku cukup terbatas. Ayah merupakan tipe orang yang tegas. Ia mewajibkan
anaknya sudah berada di rumah ketika magrib tiba. Salat jamaah, mengaji,
belajar merupakan rutinitas yang wajib dilakukan oleh anak-anaknya. Namun
semenjak aku kuliah hal itu tidak lagi tejadi kepada ku. Sekarang aku tinggal
jauh dari orang tua. Ayah hanya berpesan jaga diri baik-baik dan ingat batasan
yang ada. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Di dunia
perkuliahan aku berusaha mendapatkan banyak pengalaman dan banyak hal, mulai dari
mahasiswa akademisi, mencoba dunia
kesenian, dunia jurnalistik, organisasi, dan mengajar telah ku coba. Sudah
benar pepatah lama yang mengatakan banyak berjalan maka banyak hal yang bisa
kau lihat. Seperti itu juga yang kurasakan saat ini. Satu sisi itu memberikan
hal baik, memperbaiki kualitas diri. Namun, disisi lain ada beberapa hal yang
harus dikorbankan. Ejekan “sok sibuk” tak jarang ku terima. Dari komentar orang
rumah, teman kelas, teman SMA dan teman-teman lainya. Tak jarang orang tua ku
pun protes dengan apa yang ku lakukan. Mereka sering berkata, kau lupa pulang
nak. Kau lupa rumah. Kau lupa waktu yang kau habiskan di luar juga di sini usia
kami berkurang. Hal itu tentu saja menjadi pukulan tersendiri bagiku. Apa benar
yang ku lakukan selama ini salah. Apa secara tak sadar fasisme telah terjadi
padaku. Apa aku egois? Entalah semenjak
saat itu aku berfikir sebanarnya apa yang ku lakukan selama ini. Apa yang orang
lain lihat lebih penting dari apa yang kurasakan? Toh selama ini aku hanya
ingin membuat orang tua ku bangga. Aku hanya ingin membuat orang di sekitar ku
bangga. Apa itu salah? Sekali lagi hanya sang gaib yang bisa menjawab.
Asal
kalian tahu, selama ini aku juga merasa kosong dan sepi. Terkadang aku bingung dan bertanya kepada
diriku sendiri. Sebenarnya apa benar hal ini yang ku inginkan. Tak jarang demi
menjaga hubungan baik aku mengorbankan apa yang seharusnya ku dapatkan.
Mengorban apa yang seharusnya bisa ku lakukan, mengorbankan apa yang seharusnya
bisa ku berikan kepada orang lain. Namun semua itu “Tidak”. Satu kata yang
memiliki kedalaman makna. Yang memberikan luka (terkadang). Tapi toh ini sudah
menjadi pilihan. Sesuatu yang memang harus ku jalankan.
Tersenyum
cara satu-satunya yang bisa menyembunyikan dan menutup segalanya. Meskipun
seseorang pernah berkata, “Berhenti tersenyum, itu semua palsu.” Lantas itu
membuat ku bingung. Apa dengan menjaga hubungan baik, sesuatu benar-benar akan
baik-baik saja? Atau kah yang terjadi malah sebaliknya. Sama halnya ketika kamu
salat dengan alasan ini kewajiban umat islam. Apa artinya kita sedang menjaga hubungan
baik dengan Tuhan?
Makassar,
13 November 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar