Selasa, 09 Februari 2021

CERPEN - PRIHAL MERELAKAN

 

Perihal Merelakan

Mungkin ini prihal merelakan. Merelakan apa yang orang lain lakukan, tak  ku lakukan. Prihal orang lain menerima, tak ku terima. Prihal orang lain memberikan, tak ku berikan. Dan prihal-prihal yang lain yang harus kau relakan meski tak pernah ku dapatkan.

***

Perkenalkan aku Nabil, lebih tepatnya Nabila Safitri Ainun. Gadis yang genap berusia 21 tahun di awal Desember besok. Aku sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Bahasa Indonesia di salah satu perguruan tinggi negeri yang ada di kota Daeng, Makassar. Saat ini aku tengah menginjak semester lima dan sebentar lagi akan memasuki semeseter enam. Waktu berjalan begitu cepat. Baru saja kemarin aku mengenakan seragam putih abu-abu dan sekarang menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswi. Bagiku waktu adalah hal  gaib, yang entah tak ada seorang pun yang bisa menebak kecuali esok.

Seperti rutinitas mahasiswi pada umumnya, hari ini aku harus ke kampus pukul 07.30 untuk mengikuti perkuliahan dan seperti biasanya, lagi dan lagi aku datang terlambat. Bukan hal baru lagi menurutku dan orang sekitar. Bukan Nabil namanya jika tidak terlambat masuk kelas. Untung saja dosen pagi ini tidak mempermasalahkan keterlambatanku. Sepertinya hal baik tengah terjadi kepadanya dan semoga itu juga menimpa dosen lain setiap harinya. Keterlambatan (hanya) untuk kuliah telah menjadi penyakit tersendiri padaku. Jangan salah sangka, bukan karena tak menghargai waktu. Tetapi tidak datang terlambat untuk kuliah sebuah ketidakmungkinan buatku. Ini telah menjadi penyakit utama pada diriku, yang entah dimana dengan cara apa dapat disembuhkan. Contoh saja, sewaktu SMA di hari pertama Ujian Nasional (UN) aku terlambat masuk kelas. Pengawas sudah berada dalam ruangan dan lebih sialnya lagi aku bertemu dengan kepala sekolah yang sedang berkeliling megawasi jalannya UN. Seketika aku terkejut dan sontak memasang wajah yang tersenyum polos kepada kepala sekolah dan jajarannya. Beruntung pagi itu kepala sekolah tidak tampak marah, hanya sedikit bercanda dan berkata “Hmm terlambat lagi nak,” kebiasaan buruk ini memang sering terjadi apalagi di hari Senin. Setiap hari senin aku selalu datang terlambat upacara. Barisan khusus merupakan barisan favorit. Ruang BP merupakan ruangan yang wajib ku kunjungi setiap hari Senin sebelum masuk kelas. Ahh kenapa membahas masa SMA ku. Bukan bagian itu yang ingin ku ceritakan pada tulisan kali ini.

Kehidupan ku sebagai seorang mahasiswa tak jauh berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Kuliah, organisasi, dan kehidupan remaja pada umumnya. Hanya saja kali ini aku tidak ingin melewatkan segala sesuatu. Aku mencoba segala hal yang bisa ku coba di dunia perkuliahan. Wajar saja, ketika aku SMA hidup bersama orang tua, ruang gerak ku cukup terbatas. Ayah merupakan tipe orang yang tegas. Ia mewajibkan anaknya sudah berada di rumah ketika magrib tiba. Salat jamaah, mengaji, belajar merupakan rutinitas yang wajib dilakukan oleh anak-anaknya. Namun semenjak aku kuliah hal itu tidak lagi tejadi kepada ku. Sekarang aku tinggal jauh dari orang tua. Ayah hanya berpesan jaga diri baik-baik dan ingat batasan yang ada. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Di dunia perkuliahan aku berusaha mendapatkan banyak pengalaman dan banyak hal, mulai dari mahasiswa akademisi,  mencoba dunia kesenian, dunia jurnalistik, organisasi, dan mengajar telah ku coba. Sudah benar pepatah lama yang mengatakan banyak berjalan maka banyak hal yang bisa kau lihat. Seperti itu juga yang kurasakan saat ini. Satu sisi itu memberikan hal baik, memperbaiki kualitas diri. Namun, disisi lain ada beberapa hal yang harus dikorbankan. Ejekan “sok sibuk” tak jarang ku terima. Dari komentar orang rumah, teman kelas, teman SMA dan teman-teman lainya. Tak jarang orang tua ku pun protes dengan apa yang ku lakukan. Mereka sering berkata, kau lupa pulang nak. Kau lupa rumah. Kau lupa waktu yang kau habiskan di luar juga di sini usia kami berkurang. Hal itu tentu saja menjadi pukulan tersendiri bagiku. Apa benar yang ku lakukan selama ini salah. Apa secara tak sadar fasisme telah terjadi padaku. Apa  aku egois? Entalah semenjak saat itu aku berfikir sebanarnya apa yang ku lakukan selama ini. Apa yang orang lain lihat lebih penting dari apa yang kurasakan? Toh selama ini aku hanya ingin membuat orang tua ku bangga. Aku hanya ingin membuat orang di sekitar ku bangga. Apa itu salah? Sekali lagi hanya sang gaib yang bisa menjawab.

Asal kalian tahu, selama ini aku juga merasa kosong dan sepi.  Terkadang aku bingung dan bertanya kepada diriku sendiri. Sebenarnya apa benar hal ini yang ku inginkan. Tak jarang demi menjaga hubungan baik aku mengorbankan apa yang seharusnya ku dapatkan. Mengorban apa yang seharusnya bisa ku lakukan, mengorbankan apa yang seharusnya bisa ku berikan kepada orang lain. Namun semua itu “Tidak”. Satu kata yang memiliki kedalaman makna. Yang memberikan luka (terkadang). Tapi toh ini sudah menjadi pilihan. Sesuatu yang memang harus ku jalankan.

Tersenyum cara satu-satunya yang bisa menyembunyikan dan menutup segalanya. Meskipun seseorang pernah berkata, “Berhenti tersenyum, itu semua palsu.” Lantas itu membuat ku bingung. Apa dengan menjaga hubungan baik, sesuatu benar-benar akan baik-baik saja? Atau kah yang terjadi malah sebaliknya. Sama halnya ketika kamu salat dengan alasan ini kewajiban umat islam. Apa artinya kita sedang menjaga hubungan baik dengan Tuhan?

 

Makassar, 13 November 2017

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar